Am I An Indigo? Part 1

Sunday, November 6, 2011

Am I An Indigo? (Part 1)
(Story by satyasadhu)

“Masa depan adalah sebuah kejutan, masa lalu adalah sebuah landasan untuk pedoman kita melakukan aktivitas di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Melihat masa depan berarti melihat kejutan sebelum waktunya”
(by satyasadhu)

            Kring..kring..kring.. Terdengar bunyi sepeda dari luar rumah. Hari ini cuaca agak mendung mungkin untuk beberapa hari kedepan. Entah bagaimana bisa aku menyatakan pernyataan seperti itu, tapi itu selalu saja benar. Pagi pertama untukku di kota ini, aku melangkah ke luar rumah untuk mengambil Koran yang baru saja dikirim ke sini. Ku buka pintu depan, udara pagi terasa begitu sejuk. Seperti dunia yang baru saja diciptakan dan alam masih menyapa manusia. Terlihat awan gelap menutupi seluruh langit hampir seluruh wilayah kota ini.  Mataku tidak berhenti-hentinya melihat lingkungan sekitar, aku pikir aku harus terbiasa dengan keadaan ini, karena rumah ini aku menjadi tempat tinggalku untuk tahun-tahun berikutnya. Mendengar kata tahun saja itu sudah cukup lama bagiku.
            Hari ini jam kuliah dimulai sekitar pukul 09.20. Datang terlambat juga tidak mengapa. Aku yakin pelajaran hari sangat sangat membosankan. Aku berjalan menuju ujung jalan. Mungkin saja ada pedagang yang menajajakan makanan untuk sarapanku pagi ini. Terlihat di ujung jalan tertulis bubur ayam , langsung saja aku menghampirinya. Begitu ramai orang yang antri, aku hanya memandang dari jarak yang agak jauh. Karena sesungguhnya aku tak terbiasa dengan keramaian seperti ini. Aku lebih menghabisi waktuku untuk menyendiri. Aku pikir ini akan menyita waktu yang cukup lama untuk menunggu. Tetapi seseorang menghampiriku, umurnya sekitar 56 tahunan dengan sebet lusuh yang terpakai di lehernya. Sepertinya ia adalah pemilik dari kedai itu.

“Mau beli bubur dek?” tanyanya
“Oh, iya. Tapi disana masih terlihat ramai, nanti saja?” ujarku
“Mau beli berapa? Entar saya saja yang anter”
“Satu saja”  kataku.
“Tunggu sebentar ya dek”

            Beberapa orang memandangiku dari kejauhan. Nampaknya mereka heran melihat orang baru disini atau malah mereka heran mengapa aku yang baru datang, tiba-tiba saya didahului. Aku hanya memalingkan wajahku, tidak ingin menatap wajah mereka yang penuh dengan tanda Tanya dan sifat egois yang cukup tinggi.

“Ini dek buburnya” seraya menyerahkan sekantung bubur yang masih hangat itu
“Iya pak, berapa?” tanyaku
“6000 rupiah”
“Ini. Makasih”

Aku terus berjalan tanpa menatap mereka. Berpura-pura tidak menganggap mereka ada. Setibanya dirumah pintu depan terbuka, aku baru ingat pintu tidak aku kunci, tapi tidak apalah tidak ada yang akan mencuri untuk hari ini. Aku tahu aku tidak tinggal sendirian dirumah ini, ada beberapa yang menempatinya dan menjaganya. Jadi aku harus mencoba menjaga sikap terhadap mereka agar mereka juga merasa nyaman akan kehadiranku disini.
            Jam telah menunjukkan 09.00. Aku berangkat ke sebuah universitas ternama di kota ini. Tidak ada mobil, tidak ada motor apalagi pesawat. Hanya kaki inilah yang membantuku. Jarak dari rumah ke kampus sekitar 7 menit. Untung saja hari ini tidak panas, jadi bisa lebih relax untuk berjalan.
            Setibanya dikampus. Aku mencari ruang kelas seni. Biasanya ruang seni berada di ujung, dimana tempat paling sepi, penuh dengan tanda tanya. So, aku hanya mencari ruangan-ruangan di ujung-ujung gedung. Tidak terlalu banyak orang disini, mungkin karena ini adalah hari pertama untuk kuliah.
         Sangat dingin disini, tapi untungnya aku membawa jaket didalam tas. Jaket yang sudah 3 tahun menemaniku, warnyanya yang agak kusut, sudah tdak terlihat baru, aku tak pikir untuk menggantinya dengan yang baru. Naik ke lantai dua, aku melihat beberapa lukisan yang diletakkan di dinding, seperti ruang seni tidak jauh lagi. Ya, tepat dugaanku, Art class. Terlihat dipapan didepan sebuah ruangan beraroma mistis, dan pastinya terletak di pojok. Ternyata hanya ada tiga orang di dalam kelas. Ku letakkan tas di bangku paling belakang. Dan duduk seraya melihat ke sekeliling ruang kelas.
            Mataku tertuju pada sebuah lukisan yang berada tepat di depan kelas. Lukisan sebuah rumah, yang sudah tua dengan seseorang yang berdiri didepan rumah itu. Itu terlihat menyeramkan. Dan membuat kepalaku sakit untuk melihatnya. Di bangku depan, ada tiga wanita yang sedang asyik berbicara, mengenai fashion untuk tahun ini dan bla bla bla. Untuk menghilangkan rasa bosan aku memutar music dari Ipod, Yiruma-Hurt adalah lagu favorite ku. Lagu itu bisa menenangkan jiwaku dan membuatku merasa lebih tenang.
            Tidak sadar akan kehadiran orang-orang yang masuk kelas, sangat banyak sekitar 15 orang. Untung saja aku duduk dibelakang jadi tidak cukup bising untuk mendengar ocehan yang mereka lontarkan kepada sesama mereka, tanpa mereka sadari. Kelas dimulai, hari ini di ajar oleh Mr. Ronner mengenai seni sebagai awal. Memberi materi beberapa jam dan akhirnya kelas di bubarkan. Terbebas dari rasa bosan mendengar materi, bla bla bla dan seterusnya. Sama sekali aku tidak menyimak materi seni di kelas tadi. Jadi aku putuskan untuk meminjam bukunya saja di perpustakaan. Itu lebih mudah untukku mempelajari dengan jelas. 
            Perpustakaan menurutku adalah tempat yang cukup angker. Apalagi jika perpustakaan seperti yang akan kudatangi saat ini, walaupun belum pernah kesana tapi pastilah banyak hal-hal yang harus dijaga baik-baik jika akan ke sana. Ruangan-ruangan tua ini, buku-buku tua ini, kayu-kayu yang hampir sudah berumur belasan tahun membuatku merasa panik. Di ikuti ataupun mengikuti tidak bisa aku jelaskan. Aku biasanya menghindari tempat seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, aku tidak ingin membeli buku jika itu ada disini. Mencari buku seni, buku tua yang sangat mahal harganya. Ribuan buku terpapar di sekeliling. Serasa berada di alam lain. 

“Seni, seni, seni. Dimana kamu” seraya berjalan menelusuri lorong buku dengan penerangan yang tidak cukup baik, seperti halnya tanpa lampu, atau dengan lampu yang hanya satu saja.  
“Seni, itu dia”

            Buku dengan sampul bergambar lukisan monalisa, itulah buku seperti yang dipakai oleh Mr. Ronner tadi. Buku ini sudah berdebu, seperti tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia. Kertasnya juga sudah berwarna kecoklatan. “Haruskah aku memijam buku seperti ini, tidak adakah yang lebih baru” ungkapku.
            Bruk… Tiba-tiba terdengar suara buku berjatuhan. Aku mencari suara itu. Menelusuri lembah buku cukup sulit dari apa yang aku bayangkan, ruang yang agak gelap kulihat. Aku mendapatkan beberapa buku telah jatuh dari raknya dalam jumlah yang tidak biasa menurutku, ku coba untuk melihatnya sejenak. Tak…tak…tak.. Terdengar suaru sepatu seseorang datang mendekatiku. Apakah itu petugas perpustakaan ini atau orang yang menjatuhkan buku ini dan kembali untuk memperbaikinya?. Suaranya semakin mendekat, dekat dan dekat. Aku memandang ke arah sumber suara sepatu itu, tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang, begitu cepat. Sehingga aku tidak dapat merasakan kehadirannya yang tiba-tiba. Mengapa bisa aku tak dapat merasakan kehadiran manusia disini?

Share This Post

4 comments:

freaky_kuro Says:

oi, saya punya ide, gimana kalo kamu jd novelis aja? d--b

Satya Says:

hahay, ada ada wae...
itu aja masih ngawur-ngawur nulisnya... ;)

freaky_kuro Says:

bagus loh tapi, menarik :D

Satya Says:

hahaha, makasi mbak andin ;)

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...