Am I An Indigo? Part 3

Sunday, November 13, 2011

Am I An Indigo? Part 3
(by satyasadhu)

“Kekuatan cinta melebihi apapun”
(by satyasadhu)

            “Apakah ini adalah cinta” ungkapku. Seraya membaringkan tubuhku di atas kasur dengan  bermandikan cahaya sinar lampu.
            Malam begitu indah. Aku menjatuhkan diri di anak tangga depan rumah dan mengadahkan kepalaku ke dinding. Pikiranku melayang entah kemana, entah harus memikirkan apa untuk hari esok, esoknya lagi, dan seterusnya. Serasa dunia ini mengendalikanku. Setelah berjam-jam duduk, aku memutuskan untuk masuk ke dalam. Udara di luar begitu dingin, aku tak mau jatuh sakit esok hari. Sesaat pandanganku tersita kepada buku di atas meja yang baru saja aku beli di pasar malam tadi sore. Itu terlihat membosankan, jadi kupindahkan dan kuletakan di atas tumpukan Koran-koran bekas.
            Hari ini tidak tampak Jiana menunggu diluar, berulang kali aku melihat keluar jendela untuk melihatnya. Jadi kuputuskan untuk pergi ke kampus sendiri. Suasana hari ini tidak terlalu berbeda, tidak ada perubahan. Kelas juga tidak begitu berubah. Ku letakkan tasku di meja.

“Hey, jod” terdengar suara dari kejauhan. Dia adalah Karen, aku tidak terlalu mengenalnya. Tetapi kami sering bertemu di perpustakaan. Ia adalah seorang keturunan cina. Ayahnya bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan dan Ibunya telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Itulah yang aku dengar dari ceritanya.
“Apakah kamu akan sibuk malam ini ?” tanyanya.
“Mungkin tidak” ujarku.
“Jika sempat datanglah ke rumahku, ada pesta besar untuk hari pernikahan kakakku” katanya.
“Baiklah akan ku usahakan” ujararku.
“Ku tunggu ya” katanya, seraya berjalan ke belakang.
”Apakah aku harus datang ke sana?” ungkapku dalam hati.
Mr. Ronner datang dengan membawa beberapa buku tebal di kedua tangganya. “Hari ini kita akan mendalami mengenai sejarah seni” ungkapnya. Betapa membosankannya pelajaran sejarah seni ini ungkapku. Beberapa kali ku sempatkan mengalihkan pandanganku ke meja Jiana. Ku kira ia akan datang terlambat, tetapi tidak. Jiana tidak masuk kelas seni hari ini. Entah mengapa?
Setalah pelajaran Mr. Ronner selelai, mengingat ada beberapa tugas yang diberikan Mr.Ronner dalam kelas tadi. Kurasa harus sudah kuselesaikan sore ini, mengingat harus pergi ke pesta Karen nanti malam. Mencari buku setebal dan semirip mungkin dengan Mr. Ronner bawa tidaklah mudah. Berkali-kali ku bertanya pada petugas perpustakaan tetapi tidak sama sekali merespon baik pertanyaanku. Begitu egoisnya ia. Mungkin saja petugas ini yang sebelumnya dikatakan Jiana. Terpasang sebuah tanda pengenal di depan mejanya yang bertuliskan Gergiana. Nama yang tidak bagus ungkapku dengan suara yang agak kecil. “Nama apa?” ujarnya seraya mendangiku dengan tajam. “Ah tidak ada” kataku. Kuputuskan untuk mencarinya sendiri saja. Aku tahu mengapa aku tidak betah untuk pergi ke perpustakan untuk mencari buku yang tidak jelas seperti ini. Ku berjalan menjauhi meja si Gergiana itu dan mencari list buku seni.
Ku berjalan berlahan mencari secara detail buku itu. Atas, bawah, kiri, dan kanan mataku menelusuri berbagai buku di rak besar yang melebihi tinggiku. Sesaat terdengar langkah kaki kecil. Tapi ku abaikan suara itu. Langkah kaki itu mengikutiku. Aku menarik napas dalam saat kurasakan betapa menyeramkannya tempat ini. Suasa mistis begitu terasa di sini. Tapi tak kurasakan seorangpun berada dekatku. Rasa yang sama saat aku pertama kali bertemu dengan Jiana.
Badanku mulai bergetar, nafasku tidak teratur, aliran darahku serasa mulai berhenti saat kurasakan sebuah tangan memegang pundak kiri ku. Entah siapa aku tak bisa membalikkan badanku untuk menatapnya seakan tubuhku membeku dengan cepat. Ku tarik nafas dalam-dalam untuk sekian kalinya.

 “Aku mencari ini” katanya. Sepertinya aku mengenal suara itu, tidak asing bagiku untuk mendegarnya. Kubalikan badan dan kudapati Jiana sedang berdiri di belakangku.
“Oh My God, aku membuatku takut” ujarku seraya menghembuskan nafas. “Aku tidak sengaja” katanya dengan tersenyum.
“Apakah kau ingin aku mati berdiri disini?” ujarku dengan nada bergurau.
“Jika kau mati berdiri disini, gergiana akan menjadikanmu patung di rumahnya” katanya.
“Lebih baik aku tidak mati saja” ujarku seraya tertawa.
“Kenapa kau tidak masuk kelas hari ini?” tanyaku.
“Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan” katanya,
“Ini bukunya” seraya memberikan sebuah buku tebal yang kurasa ini buku yang aku cari. “Bagaimana kau tahu ini yang aku cari” ujarku.
“Mudah saja, hampir semua mahasiswa seni mencarinya dan untuk menemukannya tidak begitu sulit” katanya.
“Apakah kau bertanya pada Griana” ujarku. “Mungkin” seraya mengangkat bahunya.
“Nanti malam akan ada pesta di rumah Karen, apakah kau mau ikut bersamaku” tanyaku.
“Kita lihat saja nanti” Jawabnya.
“Baiklah akan ku tunggu di depan jalan” ujarku.  

            Kulihat jam tanganku yang telah menunjukan jam 19:00. Aku Menunggu Jiana selama beberapa menit. Menunggu adalah hal yang membosankan bagiku. Hampir tiga puluh menit aku menungu disini hanya lampu jalan yang menemaiku. Kurasa ia tidak akan datang. Ku putuskan untuk balik ke rumah.

“Apakah kau menyerah” ujarnya. Aku membalikkan badanku dan melihat sosok Jiana yang begitu luar biasa. Gaun putih yang dikenakan begitu membuatnya tampak elegan.
“Siapa yang akan menyerah” kataku seraya memperbaiki jas.
“Kau sudah siap untuk malam ini” katanya.

            Tampaknya begitu meriah pesta ini. Lampu-lampu menghiasi perkarangan rumah Karen. Rumah yang bermandikan cahaya lampu yang begitu indah. Terlihat Karen sudah berdiri di depan pintu dengan mengenakan gaun putih dengan renda-renda bunga yang di sesuaikan dengan gaunnya. Dan seorang laki-laki berada di sampingnya. Dia adalah pacar Karen, ia salah satu senior di kelas seni.

“Hey, kenalkan ini Jiana” kataku
“Karen”
“Jiana” seraya saling berjabatan tangan.
“Nikmati pesta untuk malam ini” ujar Karen seraya mempersilahkan kami masuk ke dalam ruangan.

            Ruagan ini penuh dengan cinta dan kasih sayang. Mr. Ronner tampaknya juga hadir dengan istrinya. Beberapa temanku juga hadir di acara ini. Walaupun begitu banyak orang, tapi untuk pertama kalinya aku tidak merasa aneh berada tempat seperti ini. Lampu lampu menghiasi seluruh dingin, bunga mawar merah yang tepajang di tengah ruangan memberikan aroma harum. Aku dan Jiana pergi ku luar ruangan.

“Bagaimana” tanyaku
“Indah” jawabnya
“Maksudku bagaimana dengan penampilanku?” tanyaku dengan tertawa
“Aku tak bisa menjawabnya” ujarnya seraya berdiri dari kursi.
            Aku begitu terpesona melihat Jiana malam ini. Ia begitu cantik melebihi lampu-lampu taman yang memancarkan sinarnya.
“Aku hanya ingin mendapatkan kejujuran darimu” ungkap Jiana
“Kejujuran apa?” kataku. Aku tak mengerti apa yang dia bicarakan. Selama ini aku jujur denganya.
“Tentang dirimu” jawabnya, “Tentang kehidupanmu”,“apakah kau tidak begitu tersiksa untuk selalu merahasiakannya” ujar Jiana.
            Suasana seolah beruba. Angin tak dapat menembus kulitku. Lampu-lampu seakan memudarkan cahaya untukku. Aku berdiam diri sejenak. Aku menghela nafas untuk menerima pernyataan Jiana tentang kehidupanku. Terasa seperti ribuan tusukan jarum telah menusuk jantungku. Aku terdiam untuk beberapa saat.

“Akankah kau akan merahasiakan itu seumur hidupmu?” katanya
            Aku berusaha untuk mengendalikan suasana ini. Aku berjalan ke arahnya dan duduk di kursi.

“Aku tak mau membahas tentang ini”, “Ini adalah hidupku, kau tak perlu ikut campur” jawabku.
“Tapi aku bisa membantumu, aku bisa merasakan apa yang kau rasakan” ujarnya dengan nada keras.
            Kulihat Karen dari kejauhan tampak Karen melihat kami berdua bertengkar. Ia berulang kali melihat kami. Tapi kurasa  ia tidak ingin ikut campur akan hal ini.

“Apakah yang kau ingin tahu dari hidupku”, “Bahkan aku sendiri tidak ingin mengetahuinya” ujarku
“Kita sama, aku juga telah mengalaminya” ujar Jiana.
“Kita berbeda, sama sekali berbeda” ungkapku dengan nada keras.

            Kulihat ia begitu tampak sedih melihat keadaanku saat ini. Mungkin ia kecewa dengan kehidupan yang aku jalani saat ini. Kecewa dengan apa yang aku katakana. Ia menjauh dariku dan pergi. “Betapa bodohnya aku” ungkapku.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
         Aku seakan melemparkan pandanganku ke arahnya. Malam ini berubah, bulan menyingkir dari langit dan enggan untuk memberikan sinarnya. Mengingat perkataan Jiana tadi pikiranku begitu kacau, kepalaku pusing, begitu tak terkendali. Karen datang mendekati ku dengan sebuah gelas di tangannya.

“Ini untukmu” katanya seraya memberikan minuman untukku.
“Tidak, sebaikknya aku pulang saja” ujarku, seraya berdiri dari kursi.
“Aku akan mengantarmu sampai rumah, aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu” ujar Karen.
“Aku bisa pulang sendiri”, “Terimakasih atas undanganmu” ungkapku.

       Selama perjalanan ke rumah. Entah apa yang aku pikirkan. Semua terhampar di dalam kepalaku. Lampu-lampu jalan membimbingku pulang kerumah. Menyinari langkahku tetapi tidak untuk kehidupanku.

Share This Post

4 comments:

freaky_kuro Says:

kyaaaa kyaaaa xO
lanjutanny mana??

Satya Says:

Tunggu aja ya lanjutannya, kepala saya lagi mumet-mumet lanjutin ceritanya...

freaky_kuro Says:

hahahaha, good luck :D
laen kali bikin cliffhanger biar makin bikin penasaran

Satya Says:

OK saran yang luar biasa, ;)

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...