Aku Sangat Takut

Monday, November 28, 2011

Terlintas aku sangat takut. Entah apa itu, aku bingung, aku mencoba untuk mencari semua jawaban yang ada. Ini begitu susah, rasanya aku tidak akan pernah mendapatkannya. Berhari-hari ini terjadi, menguras pikiranku lagi. Tentang apa yang aku harus takuti?
Hari ini bersamaan dengan Aku Masih Bersinar. Ku temukan jawabannya. Aku begitu takut menghadapi rintangan - rintangan yang akan datang. Aku begitu takut untuk hari esok, untuk bulan depan, untuk tahun depan. Aku begitu takut membayangkan kehidupan ini. Aku begitu takut untuk melakukan sesuatu lagi. Aku begitu takut jika aku tak dapat melakukan apapun. Aku begitu takut akan bayangan itu. Bayangan yang selalu menggangguku, begitu nyata, begitu jelas. Itu membuat pikiranku kacau, tidak dapat ku tompang lagi pikiran ini. Begitu berantakan.
Entahlah apakah aku harus terus begini. Jika itu benar maka hadapi saja. Jika itu salah tetap untuk hadapi untuk menjadikannya lebih baik. Aku hanya harus menjalani hidupku seperti biasa itu kuncinya. Anggap saja itu tidak ada, begitu mudah bukan?

Hidup ini begitu indah, tidak perlu di takuti, tidak perlu untuk mengurung diri. Karena sesungguhnya hidup ini adalah sebuah karunia yang begitu luar biasa.

Aku Masih Bersinar

Hari ini, esok dan seterusnya aku akan masih tetap bersinar. Aku berusaha untuk melakukan  segala yang aku hadapi dengan baik walaupun itu sesekali menyakitkan. Aku berusaha untuk memelihara segala yang aku miliki dengan baik walaupun itu sangat susah. Aku berusaha untuk mencari jalan terbaik yang akan menjadi kehidupan ku di masa depan.  
Satu lagi nilai kehidupan yang begitu membuatku sadar. Tersadar dari dalamnya jurang yang di penuhi dengan beribu-ribu batu tandus. Betapa lamanya aku baru tersadar, apakah selama ini aku terbius oleh indahnya dunia secara kasat mata? Terbius oleh ego ku sendiri. Terbius oleh hal-hal yang terucap dari orang lain dan belum tentu itu benar. Tapi kini, saat ini aku sedang tidak terbius, aku sadar seutuhnya, aku sadar apa yang telah terjadi, apa yang telah mengurungku selama bertahun-tahun.
Rintangan ini tidaklah begitu mudah. Terkadang aku harus menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikannya.  Terkadang rintangan itu datang silih berganti tanpa member senggang waktu untukku. Dan Terkadang pula membuat putus asa, membuatku lemah, membuatku tenggelam dalam jurang lagi. Tidak untuk saat ini. Walaupun aku terbiasa dengan hal itu. Tapi tidak untuk saat ini. Dan tidak untuk seterusnya.

Matahari bersinar terang layaknya sinarku. Ia menghangatkan seluruh alam ini layaknya sinarku. Ia memberikan penerangan layaknya sinarku.  Dan memberikan kehidupan layaknya sinarku.

Apakah Aku Akan Bersinar?

Friday, November 25, 2011

          Apakah aku akan bersinar? Itulah kata-kata yang terus ku dengungkan setiap saat. Aku tak bisa terlepas total dari kenyataan yang telah mengurungku selama bertahun-tahun. Kegelapan ini sungguh membuatku tak berdaya, begitu rentan, begitu lemah, bahkan aku tak dapat menentukan jalanku. Terkadang sinar itu datang, tapi tidak lamapun lenyap dengan cepat. Aku berusaha untuk mencarinya, berusaha untuk terus menyalakannya. Tapi aku tak mampu. Aku tak mampu untuk mempertahankan sinar itu setiap saat.
            Betapa bodohnya aku, mengapa aku harus mencari sinar itu? Aku tak perlu untuk melakukan itu semua. Aku dapat membuat sinarku sendiri, aku dapat menyinari diriku sendiri dengan sinarku. Dan tentunya sinar ini akan selalu ada sisiku. Membuat sinarku sendiri itu lebih mudah dari pada mencari sinar orang lain dan mengambilnya. Lantas bagaimana aku bisa membuat sinarku? Sejujurnya sinar itu sudah ada, aku tidak perlu bantuan orang lain untuk membuat sinar ku, tidak perlu percikan sinar-sinar lainnya, ataupun harus mengambil sedikit sinar lainnya untuk menghidupkan sinarku. Sinarku sudah menyala sejak dulu. Itu tampak kecil, karena tidak pernah ku pakai atau ku lihat sebelumnya. Tapi kini, mulai saat ini, aku harus mencoba untuk memakai sinarku sendiri. Memakai sinar yang hampir saja lenyap. 

Sinarku akan bersinar. Sinarku akan menerangi jalanku dan sinarku akan memusnakan kegelapan di hadapanku

Penyesuaian Diriku

Monday, November 21, 2011

            Terkadang rasa lelah ini menggerogoti badanku. Capek, lelah, lapar, dan haus kadang harus ku tunda beberapa saat. Ini bukan karena aku harus menghadiri acara penting tapi untuk menyelesaikan beberapa tugas kuliahku saat ini. Ini begitu berbeda dengan tugas-tugas yang sebelumnya ku anggap mudah layaknya di SMA. Ini menyita semua pikiran dan fisikku. Aku berusaha untuk tidak membuang waktu dengan sia-sia. Itu karena ku tahu bahwa waktu itu dapat ku kendalikan dengan baik. Terkadang jika aku hanya menyelesaikan beberapa tugas dalam sehari itu membuatku tidak merasa puas, dan aku harus menyelesaikan tugas-tugas itu secepatnya, untuk berjaga-jaga jika mungkin ada tugas tambahan dalam bentuk tugas dadakan. Ya, begitulah namanya kuliah, kita harus selalu memanfaatkan waktu-waktu luang ini semaksimal mungkin.
            Mulai minggu ini, mungkin tugas-tugas akan banyak diberikan karena berhubung telah di mulainya praktikum-praktikum mipa. Aku tidak mempermasalahkan tentang jalannya praktikum, tapi untuk membuat laporan praktikum itu sangat menyita banyak waktu, maklum ini adalah pertama kali aku membuat sebuah laporan praktikum. Ini lebih sulit dari pada membuat sebuah karya ilmiah menurutku. Aku tidak pernah lembur malam ataupun tidur di atas jam tidur biasaku untuk menyelesaikan tugas-tugas ini, karena kupikir jika aku tidur di atas jam tidurku biasa ini akan membuatku tampak lelah di pagi harinya, well semangat untuk kuliahpun agak menurun dan tentunya akan menghambat masuknya pelajaran-pelajaran hari itu. Jadi kuputuskan saja untuk tidak lembur.  Aku harap aku akan terbiasa dengan keadaan ini secepatnya, karena itu akan lebih baik untuk menyesuaikan dengan diriku. 

HIdup Itu Luar Biasa

Saturday, November 19, 2011

Source

        Terkadang hidup itu memang berat. Membuat kita hampir menyerah. Tapi berusahalah untuk selalu melakukan yang terbaik. Terkadang hidup itu membuat kita selalu lemah. Tapi berusahalah untuk bangkit dari kegelapan. Percayalah kepada Tuhan sebagai pelindung, pencipta dan ada di dalam diri kalian masing-masing. 
            Hidup Itu Luar Biasa. Hidup itu memang luar biasa. Jika ada orang yang berkata hidup itu biasa saja, ia salah. Hidup itu penuh dengan rahasia. Berbagai rahasia tersembunyi berabad-abad yang lalu hingga saat ini. Bukalah sedikit demi sedikit rahasia itu. Yakinlah bahwa kalian merupakan kuncinya. Dengan itu kalian akan dapat memaknai hidup ini dengan penuh warna. Warnailah kehidupan kalian melebih warna pelangi, bila perlu buatlah suatu warna yang akan menambah warna-warna tersebut.        
            Jalani hidup ini, jalani diri sendiri, jalani warnamu, dan jalani senyumanmu. Karena sesungguhnya hidup ini adalah karunia yang sangat luar biasa yang mungkin belum tentu di miliki untuk seterusnya. Aku pun mulai sekarang akan memaknai hidupku lebih lagi, mencari berbagai pengalaman yang tersembunyi, mencari persahabatan, mencari jawaban akan semua hidup ini. Hargai hidup ini, hargai hidup manusia lainnya karena kita semua sama, tanpa terkecuali. Jauhi perang, dekatkan persahabatan karena itu sesungguhnya akan membawa kita menuju zaman keemasan, 

Menjadi Diri Sendiri Lebih Menyenangkan

“Aku ingin masyarakat menerima diriku, tapi kenyataan aku tidak dapat menerima diriku sendiri”


            Aku terlahir sebagai manusia yang mempunyai karakteristik yang tentunya berbeda dengan manusia lainnya. Perbedaan ini terkadang membuatku terisolasi dari sekitarku. Aku begitu lemah untuk menerima keadaanku, begitu kacau untuk mengendalikan diriku sendiri saat ini. Aku tak pernah berhenti bepikir akan hal-hal negative tentang diriku sendiri. Entah mengapa aku selalu merendahkan diriku sendiri. Berdiam diri adalah jalan utama untuk ku jika sudah mulai terisolasi dari sekitar. Aku ektase, tidak sadar akan apa yang terjadi.
            Aku merasa diriku lemah, tidak berdaya, begitu terisolasi dari zaman ini. Sehingga aku hanya aku saja yang mengerti bagaimana diriku, apa yang harus kulakukan dan mengapa. Aku terdang termenung, bagaimana jika aku merubah prinsip hidup ini. Itu terlintas sesaat saja, selanjutnya akan terlupakan berlahan-lahan. Setiap saat, setiap hari pikiranku kacau. Di hantui rasa bersalah yang sangat besar, aku tidak tau apa salahku selama ini? Sehingga membuatku seperti ini.
            Menjadi diri sendiri lebih menyenangkan sepatah kata yang sering dikatakan orang. Entah hanya sebagai kiasan atau benar-benar di terapkan. Tidak dapat di pungkiri, kebanyakan yang aku lihat tidak seperti dirinya sendiri. Secara kasat mata mungkin mereka memang dirinya sendiri, tetapi jika itu di rasakan dari sisi lain, aku pikir mereka terlalu jauh dari diri mereka sendiri. Entah mengapa itu yang aku rasakan, itu terlalu membuatku pusing untuk memikirkan lebih rinci lagi antara perbedaan setiap orang yang aku jumpai.  
            Manusia terlahir dengan berbagai bakat dan kemampuan yang dia miliki. Bakat itulah yang akan membawa ia menuju kehidupan depan, dimana ia bisa mengelola semua kemampuannya dalam suatu proses sehingga akan bermanfaat bagi dirinya sendiri. Tapi kini aku berpikir tentang diriku sendiri, apakah bakat dan kemampuanku ini akan terealisasikan?.  Mungkin saja, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.
            Terkait dengan itu, bakat dan kemampuan yang kita miliki seharusnya di latih dan di kembangkan dengan teratur. Tapi pada kenyataanya sebagian besar tidak menyadari telah meninggalkan keharusan itu. Aku tersipu malu jika mendengar hal ini. Sungguh jiwaku bergitu bergetar dan jangtung ku berdetak keras. Walaupun aku hanya menjadi seorang pengamat, tetapi aku begitu merasa bersalah. Mungkin karena itulah sebabnya. Mereka meninggalkan bakat dan kemampuannya untuk mencari hal lain yang berbeda dari diri mereka. Aku juga begitu, aku begitu egois terhadap diriku sendiri, sehingga kesadaranku terambil alih. Selama ini aku meninggalkan rumah ‘diriku sendiri’ begitu jauh. Tapi saat ini aku telah kembali kerumah ‘diriku sendiri’. Seperti seorang anak yang telah pergi bertahun-tahun dan akhirnya bertemu dengan ibunya sendiri. Rasa ini jauh lebih besar.
            Aku begitu merasa nyaman, bebas, bahagia, damai. Pikiranku juga mulai terkendali. Aku sudah dapat menerima keadaanku. Menerima berbagai macam bakat dan kemampuan yagn telah diberikan oleh Tuhan. Aku lega akhirnya pencarian ini selesai dan aku bisa kembali untuk meneruskan sesuatu yang sudah tertunda.
            Bagaimana ini dapat terjadi, pada kenyataannya aku tidak begitu yakin jika menjadi diri sendiri lebih menyenangkan. Tapi kemudia aku berpikir, tidak mungkin kita akan merubah keadaan ini begitu saja, tidak mungkin kita mengubah segala sesuatu sesuai dengan keinginan kita hanya dengan sekejap mata. Aku hanya berpikir rasional, untuk apa aku harus mengubah diriku sendiri jika itu hanya untuk keegoisan diriku sendiri. Mengubah diriku seperti orang lain, meniru ataupun menjiplak semua sisi tentang dia. Mungkin itu akan mudah, tetapi sejujurnya itu akan membuat diri kalian merasa lelah.
       Hargailah semua yang telah Tuhan karuniai kepada kalian, tugas kalian hanya melatih dan mengembangkannya saja. Percaya kepada diri kalian sendiri itu akan mudah untuk dilakukan. Percaya bahwa kalian akan bersinar melebihi siapapun. Percayalah bahwa diri kalian ada di sini untuk melakukan sebuah tugas penting di bumi ini. 

Aku Juga Ingin Bahagia

Friday, November 18, 2011

            Ini di mulai saat aku bisa menentukan jalanku sendiri. Jalan yang akhirnya membawaku pada saat ini juga. Aku tak pernah merasa berdosa ataupun menyesal telah memilih sendiri jalan hidupku. Aku bangga terhadap diriku sendiri dan bangga akan apa yang telah aku dapatkan sejak saat ini. Aku bisa berpikir, bertindak, berbicara setiap saat. Ini adalah kebebasanku, karena ini adalah tanggung jawabku bukan tanggung jawab orang lain.
            Aku terlahir sebagai seorang manusia. Terlahir dari rahim seorang ibu bertahun-tahun lalu. Aku tak ingat kapan pertama kali aku menghirup udara bumi ini, kapan pertama kali aku melihat indahnya alam surga ini, kapan pertama kali aku mengucapkan sebuah kata, dan kapan pertama kali aku berpikir akan kehidupan ini. Aku tersadar akan semua itu jauh-jauh hari setelah aku dilahirkan. Aku tersadar akan Kemahakuasaan Tuhan yang telah menciptakan manusia, menciptakan Mahluk Hidup, menciptakan Alam Semesta ini dengan penuh warna-warni.
            Terlepas dari itu, kini aku sudah berumur 17 Tahun. Menurutku umur tak menentukan seberapa besar manusia dapat berpikir secara rasional. Tahun ini aku mencoba untuk memulai sebuah kehidupanku yang baru, tapi itu sia-sia. Mustahil aku bisa merubah prinsip hidupku hanya dengan sekejap mata. Aku telah terbiasa untuk menjalankan hidupku layaknya tidak seperti remaja lainnya. Bersenang-senang, belajar, berteman, berkumpul dan lain sebagainya. Aku tak mungkin bisa melakukan itu. Sejujurnya aku tidak terlalu suka pada keramaian, apalagi jika harus pergi ke suatu tempat yang penuh sesak. Itu terkadang membuatku kepalaku sakit dan lemah. Aku lebih suka berdiam diri. Diam adalah emas, menurut sebagaian orang. Aku tak berpikir bahwa diam itu adalah emas. Karena sebagian orang teridiam karena sesuatu yang tidak masuk akal dan sebagai orang terdiam karena sesuatu yang wajar yang dapat di tangkap oleh daya pikir manusia. Entah aku masuk kedalam kategori yang mana, apakah terdiam karena sesuatu yang tidak masuk akal ataupun terdiam karena itu sesuatu yang wajar. Bertahun-tahun hingga saat ini aku merasa tak pernah mengungkapkan sesuatu yang luar biasa. Ku anggap semua kata-kata pernah ku ucapkan hanya sebuah kewajaran yang membantukku untuk terhubung dengan yang lainnya. 
            Aku memiliki teman, aku memiliki teman dan aku memiliki teman. Itulah kalimat yang selalu terlinat dalam benakku. Hanya sekedar untuk membuatku semangat untuk menjalani hidup ini. Entah mengapa aku tak dapat terlepas dari sebuah ikatan pertemanan. Aku telah berpikir itu bertahun-tahun. Aku pikir aku bisa melakukan semua hal itu sendiri. Tapi sejujurnya aku salah, tanpa sebuah kata yang bermakna luar biasa teman ini kita tidak ada artinya apa-apa. Pertemanan yang sesungguhnya lebih luar biasa lagi untukku. Bertahun-tahun kulewatkan hariku, bertahun-tahun ke pelajari arti tentang kehidupan, bertahun-tahun juga aku berada di bumi ini dengan teman. Wajar saja kita tidak dapat terlepas dari ikatan itu.
Karena teman lah aku membuat sebuah tulisan ini, dia yang menginspirasiku. Aku juga ingin bahagia begitu yang ia tulis. Aku seperti tertusuk ribuan jarum, aliran darahku seolah-olah berhenti, tubuhku terasa tidak dapat ku gerakkan. Aku tak dapat mengekspresikan diriku pada saat itu. Aku mulai berpikir lebih dalam akan kalimat itu. Sebuah kalimat yang akhirnya menyadarkan ku dari jurang kegelapan. Aku mencoba menelaah kalimat itu, aku begitu tersipu. Bahkan hingga aku hidup di dunia ini aku tak pernah mengatakan aku juga ingin bahagia. Apakah aku bahagia? Atau apakah aku tidak bahagia? 
            Aku hidup dengan bahagia itu menurutku. Aku bahagia jika melihat bumi ini, aku bahagia jika melihat kedua orang tuaku, aku bahagia jika semua bahagia. Itulah presepsiku untuk saat ini. Sebelum aku terinspirasi akan hal ini, aku begitu gelap, pikirankku kacau, dan aku tidak percaya akan kekuatan dalam diriku. Aku begitu lemah ketika seorang mulai mendapatkan sesuatu yang lebih, aku begitu kacau saat aku baru saja dihadapi dengan suatu masalah. Aku seperti TERISOLASI untuk berada di sini. Aku seperti tak pernah ada, bahkan bayanganku saja tidak pernah menganggapku. Tapi itu semua ku telan bulat-bulat, mungkin aku saja yang tidak dapat menyesuaikan dengan keadaan sekarang yang lebih modern saat ini. Tiba saat ku temukan kehidupan yang lebih bahagia, aku bebas layaknya burung yang terbang di angkasa luar.
         Aku yakin manusia dilahirkan dengan misinya masing-masing. Entah untuk apa, bagaimana caranya, dan kapan. Hanya kalian sendiri yang tau akan hal itu. Cobalah untuk mencari sebuah pengalaman yang sesuai dengan kehidupan kalian, jalankan kehidupan ini, jangan pernah kalian yang dijalankan. Karena sesuatu yang lebih bahagia akan menunggu kalian suatu saat nanti saat kalian telah siap untuk memilikinya.

Am I An Indigo? Part 3

Sunday, November 13, 2011

Am I An Indigo? Part 3
(by satyasadhu)

“Kekuatan cinta melebihi apapun”
(by satyasadhu)

            “Apakah ini adalah cinta” ungkapku. Seraya membaringkan tubuhku di atas kasur dengan  bermandikan cahaya sinar lampu.
            Malam begitu indah. Aku menjatuhkan diri di anak tangga depan rumah dan mengadahkan kepalaku ke dinding. Pikiranku melayang entah kemana, entah harus memikirkan apa untuk hari esok, esoknya lagi, dan seterusnya. Serasa dunia ini mengendalikanku. Setelah berjam-jam duduk, aku memutuskan untuk masuk ke dalam. Udara di luar begitu dingin, aku tak mau jatuh sakit esok hari. Sesaat pandanganku tersita kepada buku di atas meja yang baru saja aku beli di pasar malam tadi sore. Itu terlihat membosankan, jadi kupindahkan dan kuletakan di atas tumpukan Koran-koran bekas.
            Hari ini tidak tampak Jiana menunggu diluar, berulang kali aku melihat keluar jendela untuk melihatnya. Jadi kuputuskan untuk pergi ke kampus sendiri. Suasana hari ini tidak terlalu berbeda, tidak ada perubahan. Kelas juga tidak begitu berubah. Ku letakkan tasku di meja.

“Hey, jod” terdengar suara dari kejauhan. Dia adalah Karen, aku tidak terlalu mengenalnya. Tetapi kami sering bertemu di perpustakaan. Ia adalah seorang keturunan cina. Ayahnya bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan dan Ibunya telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Itulah yang aku dengar dari ceritanya.
“Apakah kamu akan sibuk malam ini ?” tanyanya.
“Mungkin tidak” ujarku.
“Jika sempat datanglah ke rumahku, ada pesta besar untuk hari pernikahan kakakku” katanya.
“Baiklah akan ku usahakan” ujararku.
“Ku tunggu ya” katanya, seraya berjalan ke belakang.
”Apakah aku harus datang ke sana?” ungkapku dalam hati.
Mr. Ronner datang dengan membawa beberapa buku tebal di kedua tangganya. “Hari ini kita akan mendalami mengenai sejarah seni” ungkapnya. Betapa membosankannya pelajaran sejarah seni ini ungkapku. Beberapa kali ku sempatkan mengalihkan pandanganku ke meja Jiana. Ku kira ia akan datang terlambat, tetapi tidak. Jiana tidak masuk kelas seni hari ini. Entah mengapa?
Setalah pelajaran Mr. Ronner selelai, mengingat ada beberapa tugas yang diberikan Mr.Ronner dalam kelas tadi. Kurasa harus sudah kuselesaikan sore ini, mengingat harus pergi ke pesta Karen nanti malam. Mencari buku setebal dan semirip mungkin dengan Mr. Ronner bawa tidaklah mudah. Berkali-kali ku bertanya pada petugas perpustakaan tetapi tidak sama sekali merespon baik pertanyaanku. Begitu egoisnya ia. Mungkin saja petugas ini yang sebelumnya dikatakan Jiana. Terpasang sebuah tanda pengenal di depan mejanya yang bertuliskan Gergiana. Nama yang tidak bagus ungkapku dengan suara yang agak kecil. “Nama apa?” ujarnya seraya mendangiku dengan tajam. “Ah tidak ada” kataku. Kuputuskan untuk mencarinya sendiri saja. Aku tahu mengapa aku tidak betah untuk pergi ke perpustakan untuk mencari buku yang tidak jelas seperti ini. Ku berjalan menjauhi meja si Gergiana itu dan mencari list buku seni.
Ku berjalan berlahan mencari secara detail buku itu. Atas, bawah, kiri, dan kanan mataku menelusuri berbagai buku di rak besar yang melebihi tinggiku. Sesaat terdengar langkah kaki kecil. Tapi ku abaikan suara itu. Langkah kaki itu mengikutiku. Aku menarik napas dalam saat kurasakan betapa menyeramkannya tempat ini. Suasa mistis begitu terasa di sini. Tapi tak kurasakan seorangpun berada dekatku. Rasa yang sama saat aku pertama kali bertemu dengan Jiana.
Badanku mulai bergetar, nafasku tidak teratur, aliran darahku serasa mulai berhenti saat kurasakan sebuah tangan memegang pundak kiri ku. Entah siapa aku tak bisa membalikkan badanku untuk menatapnya seakan tubuhku membeku dengan cepat. Ku tarik nafas dalam-dalam untuk sekian kalinya.

 “Aku mencari ini” katanya. Sepertinya aku mengenal suara itu, tidak asing bagiku untuk mendegarnya. Kubalikan badan dan kudapati Jiana sedang berdiri di belakangku.
“Oh My God, aku membuatku takut” ujarku seraya menghembuskan nafas. “Aku tidak sengaja” katanya dengan tersenyum.
“Apakah kau ingin aku mati berdiri disini?” ujarku dengan nada bergurau.
“Jika kau mati berdiri disini, gergiana akan menjadikanmu patung di rumahnya” katanya.
“Lebih baik aku tidak mati saja” ujarku seraya tertawa.
“Kenapa kau tidak masuk kelas hari ini?” tanyaku.
“Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan” katanya,
“Ini bukunya” seraya memberikan sebuah buku tebal yang kurasa ini buku yang aku cari. “Bagaimana kau tahu ini yang aku cari” ujarku.
“Mudah saja, hampir semua mahasiswa seni mencarinya dan untuk menemukannya tidak begitu sulit” katanya.
“Apakah kau bertanya pada Griana” ujarku. “Mungkin” seraya mengangkat bahunya.
“Nanti malam akan ada pesta di rumah Karen, apakah kau mau ikut bersamaku” tanyaku.
“Kita lihat saja nanti” Jawabnya.
“Baiklah akan ku tunggu di depan jalan” ujarku.  

            Kulihat jam tanganku yang telah menunjukan jam 19:00. Aku Menunggu Jiana selama beberapa menit. Menunggu adalah hal yang membosankan bagiku. Hampir tiga puluh menit aku menungu disini hanya lampu jalan yang menemaiku. Kurasa ia tidak akan datang. Ku putuskan untuk balik ke rumah.

“Apakah kau menyerah” ujarnya. Aku membalikkan badanku dan melihat sosok Jiana yang begitu luar biasa. Gaun putih yang dikenakan begitu membuatnya tampak elegan.
“Siapa yang akan menyerah” kataku seraya memperbaiki jas.
“Kau sudah siap untuk malam ini” katanya.

            Tampaknya begitu meriah pesta ini. Lampu-lampu menghiasi perkarangan rumah Karen. Rumah yang bermandikan cahaya lampu yang begitu indah. Terlihat Karen sudah berdiri di depan pintu dengan mengenakan gaun putih dengan renda-renda bunga yang di sesuaikan dengan gaunnya. Dan seorang laki-laki berada di sampingnya. Dia adalah pacar Karen, ia salah satu senior di kelas seni.

“Hey, kenalkan ini Jiana” kataku
“Karen”
“Jiana” seraya saling berjabatan tangan.
“Nikmati pesta untuk malam ini” ujar Karen seraya mempersilahkan kami masuk ke dalam ruangan.

            Ruagan ini penuh dengan cinta dan kasih sayang. Mr. Ronner tampaknya juga hadir dengan istrinya. Beberapa temanku juga hadir di acara ini. Walaupun begitu banyak orang, tapi untuk pertama kalinya aku tidak merasa aneh berada tempat seperti ini. Lampu lampu menghiasi seluruh dingin, bunga mawar merah yang tepajang di tengah ruangan memberikan aroma harum. Aku dan Jiana pergi ku luar ruangan.

“Bagaimana” tanyaku
“Indah” jawabnya
“Maksudku bagaimana dengan penampilanku?” tanyaku dengan tertawa
“Aku tak bisa menjawabnya” ujarnya seraya berdiri dari kursi.
            Aku begitu terpesona melihat Jiana malam ini. Ia begitu cantik melebihi lampu-lampu taman yang memancarkan sinarnya.
“Aku hanya ingin mendapatkan kejujuran darimu” ungkap Jiana
“Kejujuran apa?” kataku. Aku tak mengerti apa yang dia bicarakan. Selama ini aku jujur denganya.
“Tentang dirimu” jawabnya, “Tentang kehidupanmu”,“apakah kau tidak begitu tersiksa untuk selalu merahasiakannya” ujar Jiana.
            Suasana seolah beruba. Angin tak dapat menembus kulitku. Lampu-lampu seakan memudarkan cahaya untukku. Aku berdiam diri sejenak. Aku menghela nafas untuk menerima pernyataan Jiana tentang kehidupanku. Terasa seperti ribuan tusukan jarum telah menusuk jantungku. Aku terdiam untuk beberapa saat.

“Akankah kau akan merahasiakan itu seumur hidupmu?” katanya
            Aku berusaha untuk mengendalikan suasana ini. Aku berjalan ke arahnya dan duduk di kursi.

“Aku tak mau membahas tentang ini”, “Ini adalah hidupku, kau tak perlu ikut campur” jawabku.
“Tapi aku bisa membantumu, aku bisa merasakan apa yang kau rasakan” ujarnya dengan nada keras.
            Kulihat Karen dari kejauhan tampak Karen melihat kami berdua bertengkar. Ia berulang kali melihat kami. Tapi kurasa  ia tidak ingin ikut campur akan hal ini.

“Apakah yang kau ingin tahu dari hidupku”, “Bahkan aku sendiri tidak ingin mengetahuinya” ujarku
“Kita sama, aku juga telah mengalaminya” ujar Jiana.
“Kita berbeda, sama sekali berbeda” ungkapku dengan nada keras.

            Kulihat ia begitu tampak sedih melihat keadaanku saat ini. Mungkin ia kecewa dengan kehidupan yang aku jalani saat ini. Kecewa dengan apa yang aku katakana. Ia menjauh dariku dan pergi. “Betapa bodohnya aku” ungkapku.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
         Aku seakan melemparkan pandanganku ke arahnya. Malam ini berubah, bulan menyingkir dari langit dan enggan untuk memberikan sinarnya. Mengingat perkataan Jiana tadi pikiranku begitu kacau, kepalaku pusing, begitu tak terkendali. Karen datang mendekati ku dengan sebuah gelas di tangannya.

“Ini untukmu” katanya seraya memberikan minuman untukku.
“Tidak, sebaikknya aku pulang saja” ujarku, seraya berdiri dari kursi.
“Aku akan mengantarmu sampai rumah, aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu” ujar Karen.
“Aku bisa pulang sendiri”, “Terimakasih atas undanganmu” ungkapku.

       Selama perjalanan ke rumah. Entah apa yang aku pikirkan. Semua terhampar di dalam kepalaku. Lampu-lampu jalan membimbingku pulang kerumah. Menyinari langkahku tetapi tidak untuk kehidupanku.

Am I An Indigo? Part 2

Monday, November 7, 2011

Am I An Indigo? Part 2
(Story by satyasadhu)



Kekuatan terbesar tidak berasal dari puluhan ribu tenaga, tetapi jika anda percaya terhadap diri anda sendiri, kekuatan itu akan dapat mengalahkan puluhan ribu tenaga yang ada”
(by satyasadhu)


Mengapa aku tak bisa merasakan kehadiran manusia saat ini? Itu terus terpikirkan di dalam kepalaku. Ia tetap menarik tangan kiriku, membawaku menjauh dari tempat itu. Entah kemana, melewati lorong-lorong buku. Dan berhenti di ruangan yang sangat sepi, tanpa manusia, tanpa ada suara kecuali suara kami, tanpa ada penerangan yang cukup dan duduk di lantai, bersandar pada rak buku.

“Maaf” katanya
            Ternyata ia seorang wanita, mengenakan jaket abu-abu dan shal di lehernya. Rambutnya pendek sebahu berwarna kecoklatan. Dan wajah yang tidak begitu asing lagi bagiku.

“Maaf atas kejadian ini” Katanya
“Oh, iya tidak apa-apa” kataku, “Kenapa kita harus pergi dari sana?”
“Itu adalah petugas disini, dia itu sangat pemarah, cerewet dan egois. Jika ia melihat kita disana, maka ia tidak segan-segan melaporkan kita” ujarnya dengan nafas yang tidak beraturan
“Tapi bukan kita yang melakukannya!”, “Kamu yang menjatuhkan buku itu?”
“Iya, tapi tidak sengaja” katanya, “Sepertinya ia akan kemari, kita harus keluar dari sini”
“Dari mana kamu tahu?, kelihatannya ia masih jauh” ujarku
“Ayo lah percaya padaku, itu ada jendela, kita keluar dari sana saja”
“Jendela itu, apakah tidak apa-apa?” ujarku
“Ikuti aku saja”
            Dia membuka lebar-lebar jendela itu. Untungnya jendela itu cukup besar untuk mengeluarkan kami dari sini.
“Ah, gimana serukan” katanya
“Seru?” seraya menatap wajahnya
“Perkenalkan aku Jiana, Jiana Giandha”
“Nama yang bagus” ungkapku, “Jodi, Jodi pratha”
            Aku hampir tidak bisa merasakan kehadirannya disisiku saat ini. Walaupun saat kami sedang berbicara.
“Kamu kuliah disini?” tanyanya
“Ia, saya dikelas Seni”
“Seni!! Saya juga dikelas seni” katanya
“Really? Kenapa tadi ga masuk kelas?”, ujarku “Petugas itu pemarah, cerewet dan egois, dari mana kamu tahu, kitakan baru saja masuk untuk hari ini?”
“Lagi males, lebih baik jalan-jalan keliling. Dari mana ya, rahasia” ujarnya

         Kami pergi jalan-jalan untuk sore ini. Pertama kalinya aku pergi bersama seorang wanita. Jam menunjukan 17.00, Kami duduk di tepi jalan, menikmati es krim yang baru saja kami beli. Tiba-tiba dia terdiam sejenak.

“Kita harus pergi dari sini” ujarnya dengan tegas. Dan untuk kedua kalinya ia menarik tanganku menjauh dari tempat itu. Selang beberapa detik, terjadi sebuah kecelakaan disana. Tepat dimana kami baru saja duduk. Aku tak habis menyangka akan hal itu. Tanpa melihat ke belakang Jiana terus berjalan seraya mengabiskan es krim  itu. Aku tidak merasakan ataupun menerima bayangan akan kejadian itu. Bagaimana ia bisa? Apakah ia?. Jika ia, wajar saja aku tak bisa merasakan kehadirannya saat di perpustakaan tadi, wajar saja ia bisa tahu akan sifat yang dimiliki oleh petugas perpustakaan tadi padahal kita baru pertama untuk datang kesini, wajar saja ia tahu akan kejadian yang baru saja. Aku mencoba untuk menjawab semua pertanyaan itu. Dan tiba-tiba

“Tidak perlu memikirkan hal itu” ungkapnya.
            Tiba-tiba saja ia mengatakan itu. Hatiku berdetak keras, seakan aliran darahku berhenti. Tubuhku tak bisa digerakkan. Bagaimana ia tahu aku sedang memikirkan itu semua.

“Aku telah terbiasa melihat hal seperti itu, kematian, kehidupan, kematian dan segalanya” ungkapnya,
Aku hanya terkejut ia bisa berkata seperti itu. Ia berhenti dan duduk di bangku.
“Bagaimana?” ujarnya
“Bagaimana apa” kataku,
“Bagaimana kau memiliki kemampuan itu” ujarnya
“Kemampuan apa yang kau maksud”
“Kemampuan yang halnya aku miliki, tidak kah kau ingin menceritakannya kepadaku?” ujarnya
“Aku tak mengerti maksudmu” kataku dengan tegas.
“Aku tahu kau tak akan bisa menerimanya” ujarnya.
“Apa yang kau maksud, aku benar-benar tidak mengerti” Aku berdiri dan bergegas pergi dari tempat ini. Aku berjalan tanpa berbalik kebelakang untuk melihatnya. Tapi aku berpikir ini akan menyakitkannya, jadi kuputuskan untuk kembali saja.
“Ayo lah kita pulang saja” Ujarku. Kami pulang dan tanpa ada pembicaraan lagi sepanjang ini.

            Pagi ini cuaca tetap mendung, seperti perkiraanku kemarin. Udara cukup dingin di luar. Hari yang tidak baik untuk berangkat kuliah dengan memakai baju polos seperti ini. Jadi kuputuskan untuk mengganti baju yang lebih hangat dan memakai shal berwarna coklat dan memasangnya. Saat kubuka pintu depan, terlihat sosok orang. Aku mengunci pintu dan berjalan mendekati orang yang tepat berdiri di depan perkarangan rumah.

“Hai Jodi” ujarnya
“Oh, hai” Ternyata dia Jiana
“Dari mana kau tau rumahku” Kataku
“Tidak sulit mencari rumah untuk mahasiswa baru seperti kau” Ujarnya, “Bagaimana? Siap untuk jalan-jalan?”
“Yeah, OK”, “Jalan-jalan? Bukannya kita ada jam kuliah seni untuk hari ini” kataku
“Hari ini Mr. Ronner tidak masuk kelas” ujarnya
“Dari mana engkau tahu? Lebih baik kita memastikan terlebih dahulu” kataku
“Baik. Jika aku benar engkau akan traktir aku untuk hari ini” ujarnya
“Siapa takut. Tapi jika aku benar kau akan traktir aku dua kali lipat” kataku sambil tertawa. Kami berjalan menuju kampus. Setibanya di ruang kelas seni. Terpasang sebuah pengumuman.

“Maaf untuk hari ini jam kuliah saya tidak ada. Dan untuk penggantian jam akan di informasikan selanjutnya by Mr. Ronner”

Jiana menatapku dan berkata “Yes, aku ditraktir. Mari” Dia menarik tanganku keluar dari kelas. Entah mengapa aku merasakan kebahagiaan jika dekat dengannya.  Jam sudah menunjukan pukul 17:00

“Hari ini akan turun hujan?” tanyaku
“Sepertinya tidak, ini cuaca yang baik untuk melakukan aktivitas di luar rumah” ujarnya
            Kami memutuskan untuk pergi ke sebuah pasar malam yang jaraknya cukup dekat dengan kampus. Sebuah lapang luas disulap bagaikan hunian surga bagi para malaikat yang penuh dengan lampu warna-warni yang memanjakan mata. Begitu memasukinya, terasa udara berhembus. Aku berusaha untuk membiasakan diri dengan keramaian orang-orang seperti ini. Tetapi Jiana cukup senang melihat semuanya, ia mangajakku untuk pergi melihat beberapa buku-buku yang sedang diskon besar.Aku baru tahu kalau di tempat seperti inipun juga ada yang menjual buku.

“Sepertinya ini bagus untukmu” seraya memberikan buku yang bercetak supranatural di sampul depannya dengan gambar yang abstrak dan agak aneh.
“Apakah kau yakin?” kataku seraya mengambil buku dari tangannya dan melihatnya sekilas.
“Saranku tidak pernah salah” katanya, “Beli saja mumpung harganya murah, kitakan harus menghemat uang” ujarnya
“Baiklah” entah mengapa aku harus membeli buku seperti itu.
           
            Kami menghabiskan hari ini dengan makan, berkeliling dan menikmati waktu liburan kali ini. Saat akan beranjak keluar dari sini, ada sebuah pameran bertuliskan Ramal Masa Depan. Jiana menyuruhku untuk mencoba masuk ke dalam.

“Cobalah masuk kesana” katanya
“Maksudmu untuk diramal” kataku, “Aku tidak percaya akan hal itu”
“Bagaimana jika itu benar” ujarnya, “Ayolah inikan hanya untuk bersenang-senang” ia mendorongku masuk ke sebuah tenda yang ukurannya hanya mungkin dapat memuat 3 orang saja.
“Oke..Oke baiklah” aku masuk ke dalam dan Jiana menunggu diluar tenda

“Aku sudah tahu kau akan datang” ucap seorang yang duduk di depan meja. Aku tak tahu siapa dia, sepertinya namanya Yarami, bagaimana aku tahu? Tentu saja tertulis jelas di depan tadi. Ia seorang wanita tua yang usianya mungkin sekitar 70 tahunan, memakai baju yang sudah agak kusut. Aku baru saja masuk merasakan suasana seperti ini. Tercium aroma bunga melati yang sangat menyengat. Dan 5 buah lilin yang membentuk bintang diletakkan di meja. Meja itu terbuat dari kayu yang sudah agak lapuk dan tua.

“Aku?” tanyaku dengan heran
“Aku merasakan kekuatan yang besar bersamamu, kekuatan yang tak ada tandingannya, kekuatan itu akan membimbingmu, untuk menjadi lebih baik” ujarnya

            Aku merasa aneh disini. Belum saja aku beberpa detik, wanita itu sudah berbicara aneh seperti itu.
“Aku tak mengerti maksudmu” kataku
“Kau akan dapat menyadarinya suatu saat nanti” seraya menggerakkan tangannya ke arahku
“Oke baiklah, cukup dengan penjelasan itu” aku bangun dari kursi itu dan bergegas untuk pergi
“Percayalah pada dirimu sendiri” teriaknya ketika aku mencoba untuk keluar dari tempat aneh seperti ini.

            Apa maksud dari perkataanya, sungguh tidak wajar. Saat keluar aku tidak mendapati Jiana menunggu diluar tenda. Aku melihat sekitarku untuk mencarinya, tetapi ia tidak ada. Aku bergegas mencarinya, mungkin saja ia sedang dalam masalah. Entah mengapa aku bisa berjalan kearah ini, tidak mungkin ia akan kesini. Dari kejauhan kulihat sosok wanita, sepertinya itu dia. Bergegas ku berlari kesana. 

“Oh, maaf” ucapnya

“Aku mencarimu, kukira kau dalam masalah” kataku dengan nafas yang tidak teratur
“Aku bosan menunggu jadi kuputuskan untuk bermain kesini” ujarnya, “Bagaimana hasilnya?”
“Baik” Ucapku, jika aku mengatakan tidak ada apa-apa mungkin saja ia akan menyuruhku kembali ke tempat aneh itu lagi jadi kuputuskan untuk mengatakan sesuatu yang baik-baik saja.
“Apa yang diceritakanya padamu?” tanyanya
“Tidak terlalu penting, hanya tentang pekerjaan, keuangan dan sebagainya” kataku, “Tidakkah kau ingin mencobanya”
“Besok saja” ujarnya

         Kami akhirnya memutuskan untuk pulang, matahari sudah hampir pulang dari singgasananya. Dari kejauhan terlihat begitu indahnya kota ini. Hiasan lampu bertaburan di sekitaran kota. Taman surga yang ada dibumi.

“Bagaimana menurutmu” tanyaku
“Indah” ujarnya

       Hari terbaik yang tak akan pernah kulupakan, dan juga mengenai kata-kata wanita tua itu yang membuatku terus berpikir untuk mencari jawaban yang rasional dari semua itu.

Am I An Indigo? Part 1

Sunday, November 6, 2011

Am I An Indigo? (Part 1)
(Story by satyasadhu)

“Masa depan adalah sebuah kejutan, masa lalu adalah sebuah landasan untuk pedoman kita melakukan aktivitas di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Melihat masa depan berarti melihat kejutan sebelum waktunya”
(by satyasadhu)

            Kring..kring..kring.. Terdengar bunyi sepeda dari luar rumah. Hari ini cuaca agak mendung mungkin untuk beberapa hari kedepan. Entah bagaimana bisa aku menyatakan pernyataan seperti itu, tapi itu selalu saja benar. Pagi pertama untukku di kota ini, aku melangkah ke luar rumah untuk mengambil Koran yang baru saja dikirim ke sini. Ku buka pintu depan, udara pagi terasa begitu sejuk. Seperti dunia yang baru saja diciptakan dan alam masih menyapa manusia. Terlihat awan gelap menutupi seluruh langit hampir seluruh wilayah kota ini.  Mataku tidak berhenti-hentinya melihat lingkungan sekitar, aku pikir aku harus terbiasa dengan keadaan ini, karena rumah ini aku menjadi tempat tinggalku untuk tahun-tahun berikutnya. Mendengar kata tahun saja itu sudah cukup lama bagiku.
            Hari ini jam kuliah dimulai sekitar pukul 09.20. Datang terlambat juga tidak mengapa. Aku yakin pelajaran hari sangat sangat membosankan. Aku berjalan menuju ujung jalan. Mungkin saja ada pedagang yang menajajakan makanan untuk sarapanku pagi ini. Terlihat di ujung jalan tertulis bubur ayam , langsung saja aku menghampirinya. Begitu ramai orang yang antri, aku hanya memandang dari jarak yang agak jauh. Karena sesungguhnya aku tak terbiasa dengan keramaian seperti ini. Aku lebih menghabisi waktuku untuk menyendiri. Aku pikir ini akan menyita waktu yang cukup lama untuk menunggu. Tetapi seseorang menghampiriku, umurnya sekitar 56 tahunan dengan sebet lusuh yang terpakai di lehernya. Sepertinya ia adalah pemilik dari kedai itu.

“Mau beli bubur dek?” tanyanya
“Oh, iya. Tapi disana masih terlihat ramai, nanti saja?” ujarku
“Mau beli berapa? Entar saya saja yang anter”
“Satu saja”  kataku.
“Tunggu sebentar ya dek”

            Beberapa orang memandangiku dari kejauhan. Nampaknya mereka heran melihat orang baru disini atau malah mereka heran mengapa aku yang baru datang, tiba-tiba saya didahului. Aku hanya memalingkan wajahku, tidak ingin menatap wajah mereka yang penuh dengan tanda Tanya dan sifat egois yang cukup tinggi.

“Ini dek buburnya” seraya menyerahkan sekantung bubur yang masih hangat itu
“Iya pak, berapa?” tanyaku
“6000 rupiah”
“Ini. Makasih”

Aku terus berjalan tanpa menatap mereka. Berpura-pura tidak menganggap mereka ada. Setibanya dirumah pintu depan terbuka, aku baru ingat pintu tidak aku kunci, tapi tidak apalah tidak ada yang akan mencuri untuk hari ini. Aku tahu aku tidak tinggal sendirian dirumah ini, ada beberapa yang menempatinya dan menjaganya. Jadi aku harus mencoba menjaga sikap terhadap mereka agar mereka juga merasa nyaman akan kehadiranku disini.
            Jam telah menunjukkan 09.00. Aku berangkat ke sebuah universitas ternama di kota ini. Tidak ada mobil, tidak ada motor apalagi pesawat. Hanya kaki inilah yang membantuku. Jarak dari rumah ke kampus sekitar 7 menit. Untung saja hari ini tidak panas, jadi bisa lebih relax untuk berjalan.
            Setibanya dikampus. Aku mencari ruang kelas seni. Biasanya ruang seni berada di ujung, dimana tempat paling sepi, penuh dengan tanda tanya. So, aku hanya mencari ruangan-ruangan di ujung-ujung gedung. Tidak terlalu banyak orang disini, mungkin karena ini adalah hari pertama untuk kuliah.
         Sangat dingin disini, tapi untungnya aku membawa jaket didalam tas. Jaket yang sudah 3 tahun menemaniku, warnyanya yang agak kusut, sudah tdak terlihat baru, aku tak pikir untuk menggantinya dengan yang baru. Naik ke lantai dua, aku melihat beberapa lukisan yang diletakkan di dinding, seperti ruang seni tidak jauh lagi. Ya, tepat dugaanku, Art class. Terlihat dipapan didepan sebuah ruangan beraroma mistis, dan pastinya terletak di pojok. Ternyata hanya ada tiga orang di dalam kelas. Ku letakkan tas di bangku paling belakang. Dan duduk seraya melihat ke sekeliling ruang kelas.
            Mataku tertuju pada sebuah lukisan yang berada tepat di depan kelas. Lukisan sebuah rumah, yang sudah tua dengan seseorang yang berdiri didepan rumah itu. Itu terlihat menyeramkan. Dan membuat kepalaku sakit untuk melihatnya. Di bangku depan, ada tiga wanita yang sedang asyik berbicara, mengenai fashion untuk tahun ini dan bla bla bla. Untuk menghilangkan rasa bosan aku memutar music dari Ipod, Yiruma-Hurt adalah lagu favorite ku. Lagu itu bisa menenangkan jiwaku dan membuatku merasa lebih tenang.
            Tidak sadar akan kehadiran orang-orang yang masuk kelas, sangat banyak sekitar 15 orang. Untung saja aku duduk dibelakang jadi tidak cukup bising untuk mendengar ocehan yang mereka lontarkan kepada sesama mereka, tanpa mereka sadari. Kelas dimulai, hari ini di ajar oleh Mr. Ronner mengenai seni sebagai awal. Memberi materi beberapa jam dan akhirnya kelas di bubarkan. Terbebas dari rasa bosan mendengar materi, bla bla bla dan seterusnya. Sama sekali aku tidak menyimak materi seni di kelas tadi. Jadi aku putuskan untuk meminjam bukunya saja di perpustakaan. Itu lebih mudah untukku mempelajari dengan jelas. 
            Perpustakaan menurutku adalah tempat yang cukup angker. Apalagi jika perpustakaan seperti yang akan kudatangi saat ini, walaupun belum pernah kesana tapi pastilah banyak hal-hal yang harus dijaga baik-baik jika akan ke sana. Ruangan-ruangan tua ini, buku-buku tua ini, kayu-kayu yang hampir sudah berumur belasan tahun membuatku merasa panik. Di ikuti ataupun mengikuti tidak bisa aku jelaskan. Aku biasanya menghindari tempat seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, aku tidak ingin membeli buku jika itu ada disini. Mencari buku seni, buku tua yang sangat mahal harganya. Ribuan buku terpapar di sekeliling. Serasa berada di alam lain. 

“Seni, seni, seni. Dimana kamu” seraya berjalan menelusuri lorong buku dengan penerangan yang tidak cukup baik, seperti halnya tanpa lampu, atau dengan lampu yang hanya satu saja.  
“Seni, itu dia”

            Buku dengan sampul bergambar lukisan monalisa, itulah buku seperti yang dipakai oleh Mr. Ronner tadi. Buku ini sudah berdebu, seperti tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia. Kertasnya juga sudah berwarna kecoklatan. “Haruskah aku memijam buku seperti ini, tidak adakah yang lebih baru” ungkapku.
            Bruk… Tiba-tiba terdengar suara buku berjatuhan. Aku mencari suara itu. Menelusuri lembah buku cukup sulit dari apa yang aku bayangkan, ruang yang agak gelap kulihat. Aku mendapatkan beberapa buku telah jatuh dari raknya dalam jumlah yang tidak biasa menurutku, ku coba untuk melihatnya sejenak. Tak…tak…tak.. Terdengar suaru sepatu seseorang datang mendekatiku. Apakah itu petugas perpustakaan ini atau orang yang menjatuhkan buku ini dan kembali untuk memperbaikinya?. Suaranya semakin mendekat, dekat dan dekat. Aku memandang ke arah sumber suara sepatu itu, tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang, begitu cepat. Sehingga aku tidak dapat merasakan kehadirannya yang tiba-tiba. Mengapa bisa aku tak dapat merasakan kehadiran manusia disini?

Marching Band

Friday, November 4, 2011

Marching band is a physical activity in which a group of instrumental musicians generally perform outdoors and incorporate some type of marching ( and possibly onto other movements) with their musical performance. Instrument typically includes brass, woodwinds and percussion instruments. Most marching bands use some kind of uniform (often a military style) that include the school or organization’s name or symbol, pith helmets, feather plumes, shakos, gloves,  and sometimes gauntlets, sashes and/or capes. 
(source by wikipedia)

Experience :
I so excited about music. I just couldn’t hold back the tears of joy and sadness when I listening music. Because every day, every time, every moment I listening music, especially classic music like Beethoven, Sonata, and else. Well, This year, I’ve joined marching band at Mataram University. I’ve just became a new member. My senior lets me to join to other organization like modern band but I not accepted because honestly I really need any experience in music to join in a modern band. I more interested in marching band ;) because Marching band is the goal I have dreamed of since I’m freshman at Mataram University. I’m thankful every day that my teacher gave me the opportunity to teach about music.  The choice of instrumental almost depends of me, maybe. I don’t know what I used to choice. To be able to play instruments like the trumpet, I think  it’s need some lesson in producing the sound, it’s kinda hard to do. The saxophone is easy, fun and doesn’t take  a whole lot of effort. Once I get  my sense  of getting a good tone in, I’II be having fun in long time (I can play saxophen little). I think I’II be taken Pit instrument. I’II always carry the memories of marching band with me cause it's my choice. 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...